Pages

Monday 30 January 2012

DIATAS SAJADAH CINTA (KISAH ZAHID)

KOTA KUFAH terang oleh sinar purnama. Semilir angin yang bertiup dari utara membawa hawa sejuk. Sebagian rumah telah menutup pintu dan jendelanya. Namun geliat hidup kota Kufah masih terasa.Di serambi masjid Kufah, seorang pemuda berdiri tegap menghadap kiblat. Kedua matanya memandang teguh ke tempat sujud. Bibirnya bergetar melantunkan ayat-ayat suci Al-Quran. Hati dan seluruh gelegak jiwanya menyatu dengan Tuhan, Pencipta alam semesta. Orang-orang memanggilnya “Zahid” atau “Si Ahli Zuhud”, karena kezuhudannya meskipun ia masih muda. Dia dikenal masyarakat sebagai pemuda yang paling tampan dan paling mencintai masjid di kota Kufah pada masanya. 

Sebahagian besar waktunya ia habiskan di dalam masjid, untuk ibadah dan menuntut ilmu pada ulama terkemuka kota Kufah. Saat itu masjid adalah pusat peradaban, pusat pendidikan, pusat informasi dan pusat perhatian. Pemuda itu terus larut dalam samudera ayat Ilahi. Setiap kali sampai pada ayat-ayat azab, tubuh pemuda itu bergetar hebat. Air matanya mengalir deras. Neraka bagaikan menyala-nyala dihadapannya. Namun jika ia sampai pada ayat-ayat nikmat dan surga, embun sejuk dari langit terasa bagai mengguyur sekujur tubuhnya. Ia merasakan kesejukan dan kebahagiaan. Ia bagai
mencium aroma wangi para bidadari yang suci. Tatkala sampai pada surat Asy Syams, ia menangis,
“fa alhamaha fujuuraha wa taqwaaha.
qad aflaha man zakkaaha.
wa qad khaaba man dassaaha
…”
(maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu jalan kefasikan dan ketaqwaan,
sesungguhnya, beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, dan sungguh merugilah orang yang mengotorinya…)

Hatinya bertanya-tanya. Apakah dia termasuk golongan yang mensucikan jiwanya. Ataukah golongan yang mengotori jiwanya? Dia termasuk golongan yang beruntung, ataukah yang merugi? Ayat itu ia ulang berkali-kali. Hatinya bergetar hebat. Tubuhnya berguncang. Akhirnya ia pingsan.
***

Sementara itu, di pinggir kota tampak sebuah rumah mewah bagai istana. Lampu-lampu yang menyala dari kejauhan tampak berkerlap-kerlip bagai bintang gemintang. Rumah itu milik seorang saudagar kaya yang memiliki kebun kurma yang luas dan hewan ternak yang tak terhitung jumlahnya. Dalam salah satu kamarnya, tampak seorang gadis jelita sedang menari-nari riang gembira.
Wajahnya yang putih susu tampak kemerahan terkena sinar yang terpancar bagai tiga lentera yang menerangi ruangan itu. Kecantikannya sungguh memesona. Gadis itu terus menari sambil mendendangkan syair-syair cinta,
“in kuntu ‘asyiqatul lail fa ka’si
musyriqun bi dhau’
wal hubb al wariq
…”
(jika aku pencinta malam maka
gelasku memancarkan cahaya
dan cinta yang mekar
…)

***
Gadis itu terus menari-nari dengan riangnya. Hatinya berbunga-bunga. Di ruangan tengah, kedua orangtuanya menyungging senyum mendengar syair yang didendangkan putrinya. Sang ibu berkata, “Abu Afirah, putri kita sudah menginjak dewasa. Kau dengarkanlah baik-baik syairsyair yang ia dendangkan.” “Ya, itu syair-syair cinta. Memang sudah saatnya dia menikah. Kebetulan tadi siang di pasar
aku berjumpa dengan Abu Yasir. Dia melamar Afirah untuk putranya, Yasir.” “Bagaimana, kau terima atau…?”

“Ya jelas langsung aku terima. Dia ‘kan masih kerabat sendiri dan kita banyak berhutang budi padanya. Dialah yang dulu menolong kita waktu kesusahan. Di samping itu Yasir itu gagah dan tampan.”

“Tapi bukankah lebih baik kalau minta pendapat Afirah dulu?”

“Tak perlu! Kita tidak ada pilihan kecuali menerima pinangan ayah Yasir. Pemuda yang paling cocok untuk Afirah adalah Yasir.”

“Tapi, engkau tentu tahu bahwa Yasir itu pemuda yang tidak baik.”

“Ah, itu gampang. Nanti jika sudah beristri Afirah, dia pasti juga akan tobat! Yang penting dia kaya raya.”

***
Pada saat yang sama, di sebuah tenda mewah, tak jauh dari pasar Kufah. Seorang pemuda tampan dikelilingi oleh teman-temannya. Tak jauh darinya seorang penari melenggak lenggokan tubuhnya diiringi suara gendang dan seruling. “Ayo bangun, Yasir. Penari itu mengerlingkan matanya padamu!” bisik temannya.
“Be…benarkah?”
“Benar. Ayo cepatlah. Dia penari tercantik kota ini. Jangan kau sia-siakan kesempatan ini,
Yasir!”
“Baiklah. Bersenang-senang dengannya memang impianku.”
Yasir lalu bangkit dari duduknya dan beranjak menghampiri sang penari. Sang penari mengulurkan tangan kanannya dan Yasir menyambutnya. Keduanya lalu menari-nari diiringi irama seruling dan gendang. Keduanya benar-benar hanyut dalam kelenaan. Dengan gerakan mesra penari itu membisikkan sesuatu ketelinga Yasir, “Apakah Anda punya waktu malam ini bersamaku?” Yasir tersenyum dan menganggukan kepalanya. Keduanya terus menari dan menari. Suara gendang memecah hati. Irama seruling melengking-lengking. Aroma arak menyengat nurani.
Hati dan pikiran jadi mati.

***
Keesokan harinya.
Selesai sai shalat dhuha, Zahid meninggalkan masjid menuju ke pinggir kota. Ia hendak menjenguk saudaranya yang sakit. Ia berjalan dengan hati terus berzikir membaca ayat-ayat suci Al-Quran. Ia sempatkan ke pasar sebentar untuk membeli anggur dan apel buat saudaranya yang sakit. Zahid berjalan melewati kebun kurma yang luas. Saudaranya pernah bercerita bahwa kebun itu milik saudagar kaya, Abu Afirah. Ia terus melangkah menapaki jalan yang membelah kebun kurma itu. Tiba-tiba dari kejauhan ia melihat titik hitam. Ia terus berjalan dan titik hitam itu semakin membesar dan mendekat. Matanya lalu menangkap di kejauhan sana perlahan bayangan itu menjadi seorang sedang menunggang kuda. Lalu sayup-sayup telinganya menangkap suara,
“Toloong! Toloong!!”
Suara itu datang dari arah penunggang kuda yang ada jauh di depannya. Ia menghentikan langkahnya. Penunggang kuda itu semakin jelas.
“Toloong! Toloong!!”

Suara itu semakin jelas terdengar. Suara seorang perempuan. Dan matanya dengan jelas bisa menangkap penunggang kuda itu adalah seorang perempuan. Kuda itu berlari kencang. “Toloong! Toloong hentikan kudaku ini! Ia tidak bisa dikendalikan!”
Mendengar itu Zahid tegang. Apa yang harus ia perbuat. Sementara kuda itu semakin dekat dan tinggal beberapa belas meter di depannya. Cepat-cepat ia menenangkan diri dan membaca shalawat. Ia berdiri tegap di tengah jalan. Tatkala kuda itu sudah sangat dekat ia mengangkat tangan kanannya dan berkata keras,
“Hai kuda makhluk Allah, berhentilah dengan izin Allah!” Bagai pasukan mendengar perintah panglimanya, kuda itu meringkik dan berhenti seketika. Perempuan yang ada dipunggungnya terpelanting jatuh. Perempuan itu mengaduh. Zahid
mendekati perempuan itu dan menyapanya,

“Assalamu’alaikum. Kau tidak apa-apa?”
Perempuan itu mengaduh. Mukanya tertutup cadar hitam. Dua matanya yang bening menatap Zahid. Dengan sedikit merintih ia menjawab pelan,

“Alhamdulillah, tidak apa-apa. Hanya saja tangan kananku sakit sekali. Mungkin terkilir saat jatuh.”

“Syukurlah kalau begitu.”
Dua mata bening di balik cadar itu terus memandangi wajah tampan Zahid. Menyadari hal itu Zahid menundukkan pandangannya ke tanah. Perempuan itu perlahan bangkit. Tanpa sepengetahuan Zahid, ia membuka cadarnya. Dan tampaklah wajah cantik nan memesona,

“Tuan, saya ucapkan terima kasih. Kalau boleh tahu siapa nama Tuan, dari mana dan mau ke mana Tuan?”
Zahid mengangkat mukanya. Tak ayal matanya menatap wajah putih bersih memesona. Hatinya bergetar hebat. Syaraf dan ototnya terasa dingin semua. Inilah untuk pertama kalinya ia menatap wajah gadis jelita dari jarak yang sangat dekat. Sesaat lamanya keduanya beradu pandang. Sang gadis terpesona oleh ketampanan Zahid, sementara gemuruh hati Zahid tak kalah hebatnya. Gadis itu tersenyum dengan pipi merah merona, Zahid tersadar, ia cepat-cepat menundukkan kepalanya. “Innalillah. Astagfirullah,” gemuruh hatinya.
“Namaku Zahid, aku dari masjid mau mengunjungi saudaraku yang sakit.”
“Jadi, kaukah Zahid yang sering dibicarakan orang itu? Yang hidupnya cuma di dalam masjid?”
“Tak tahulah. Itu mungkin Zahid yang lain.” kata Zahid sambil membalikkan badan. Ia lalu melangkah.
“Tunggu dulu Tuan Zahid! Kenapa tergesa-gesa? Kau mau kemana? Perbincangan kita belum selesai!”
“Aku mau melanjutkan perjalananku!”
Tiba-tiba gadis itu berlari dan berdiri di hadapan Zahid. Terang saja Zahid gelagapan. Hatinya bergetar hebat menatap aura kecantikan gadis yang ada di depannya. Seumur hidup ia belum pernah menghadapi situasi seperti ini.
“Tuan aku hanya mau bilang, namaku Afirah. Kebun ini milik ayahku. Dan rumahku ada di sebelah selatan kebun ini. Jika kau mau silakan datang ke rumahku. Ayah pasti akan senang dengan kehadiranmu. Dan sebagai ucapan terima kasih aku mau menghadiahkan ini.” Gadis itu lalu mengulurkan tangannya memberi sapu tangan hijau muda.
“Tidak usah.”
“Terimalah, tidak apa-apa! Kalau tidak Tuan terima, aku tidak akan memberi jalan!”
Terpaksa Zahid menerima sapu tangan itu. Gadis itu lalu minggir sambil menutup kembali mukanya dengan cadar. Zahid melangkahkan kedua kakinya melanjutkan perjalanan.

***
Saat malam datang membentangkan jubah hitamnya, kota Kufah kembali diterangi sinar rembulan. Angin sejuk dari utara semilir mengalir. Afirah terpekur di kamarnya. Matanya berkaca-kaca. Hatinya basah. Pikirannya bingung.
Apa yang menimpa dirinya. Sejak kejadian tadi pagi di kebun kurma hatinya terasa gundah. Wajah bersih Zahid bagai tak hilang dari pelupuk matanya. Pandangan matanya yang teduh menunduk membuat hatinya sedemikian terpikat. Pembicaraan orang-orang tentang kesalehan seorang pemuda di tengah kota bernama Zahid semakin membuat hatinya tertawan. Tadi pagi ia menatap wajahnya dan mendengarkan tutur suaranya. Ia juga menyaksikan wibawanya. Tiba-tiba
air matanya mengalir deras. Hatinya merasakan aliran kesejukan dan kegembiraan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Dalam hati ia berkata,

“Inikah cinta? Beginikah rasanya? Terasa hangat mengaliri syaraf. Juga terasa sejuk di dalam hati. Ya Rabbi, tak aku pungkiri aku jatuh hati pada hamba-Mu yang bernama Zahid. Dan inilah untuk pertama kalinya aku terpesona pada seorang pemuda. Untuk pertama kalinya aku jatuh cinta. Ya Rabbi, izinkanlah aku mencintainya.” Air matanya terus mengalir membasahi pipinya. Ia teringat sapu tangan yang ia berikan pada Zahid. Tiba-tiba ia tersenyum,

“Ah sapu tanganku ada padanya. Ia pasti juga mencintaiku. Suatu hari ia akan datang kemari.” Hatinya berbunga-bunga. Wajah yang tampan bercahaya dan bermata teduh itu hadir di pelupuk matanya.

***
Sementara itu di dalam masjid Kufah tampak Zahid yang sedang menangis di sebelah kanan mimbar. Ia menangisi hilangnya kekhusyukan hatinya dalam shalat. Ia tidak tahu harus berbuat apa. Sejak ia bertemu dengan Afirah di kebun kurma tadi pagi ia tidak bisa mengendalikan gelora hatinya. Aura kecantikan Afirah bercokol dan mengakar sedemikian kuat dalam relung relung hatinya. Aura itu selalu melintas dalam shalat, baca Al-Quran dan dalam apa saja yang ia kerjakan. Ia telah mencoba berulang kali menepis jauh-jauh aura pesona Afirah dengan
melakukan shalat sekhusyu’-khusyu’-nya namun usaha itu sia-sia.

“Ilahi, kasihanilah hamba-Mu yang lemah ini. Engkau Mahatahu atas apa yang menimpa diriku. Aku tak ingin kehilangan cinta-Mu. Namun Engkau juga tahu, hatiku ini tak mampu mengusir pesona kecantikan seorang makhluk yang Engkau ciptakan. Saat ini hamba sangat lemah berhadapan dengan daya tarik wajah dan suaranya Ilahi, berilah padaku cawan kesejukan untuk meletakkan embun-embun cinta yang menetes-netes dalam dinding hatiku ini. Ilahi, tuntunlah langkahku pada garis takdir yang paling Engkau ridhai. Aku serahkan hidup matiku untuk-Mu.” Isak Zahid mengharu biru pada Tuhan Sang Pencipta hati, cinta, dan segala
keindahan semesta. Zahid terus meratap dan mengiba. Hatinya yang dipenuhi gelora cinta terus ia paksa untuk menepis noda-noda nafsu. Anehnya, semakin ia meratap embun-embun cinta itu semakin deras mengalir. Rasa cintanya pada Tuhan. Rasa takut akan azab-Nya. Rasa cinta dan rindu-Nya pada Afirah. Dan rasa tidak ingin kehilangannya. Semua bercampur dan mengalir sedemikian hebat
dalam relung hatinya. Dalam puncak munajatnya ia pingsan. Menjelang subuh, ia terbangun. Ia tersentak kaget. Ia belom shalat tahajjud. Beberapa orang
tampak tengah asyik beribadah bercengkerama dengan Tuhannya. Ia menangis, ia menyesal. Biasanya ia sudah membaca dua juz dalam shalatnya.

“Ilahi, jangan kau gantikan bidadariku di surga dengan bidadari dunia. Ilahi, hamba lemah maka berilah kekuatan!” Ia lalu bangkit, wudhu, dan shalat tahajjud. Di dalam sujudnya ia berdoa,
“Ilahi, hamba mohon ridha-Mu dan surga. Amin. Ilahi lindungi hamba dari murkamu dan neraka. Amin. Ilahi, jika boleh hamba titipkan rasa cinta hamba pada Afirah pada-Mu, hamba terlalu lemah untuk menanggung-Nya. Amin. Ilahi, hamba memohon ampunan-Mu, rahmat-Mu, cinta-Mu, dan ridha-Mu. Amin.”

***
Pagi hari, usai shalat dhuha Zahid berjalan ke arah pinggir kota. Tujuannya jelas yaitu melamar Afirah. Hatinya mantap untuk melamarnya. Di sana ia disambut dengan baik oleh kedua orangtua Afirah. Mereka sangat senang dengan kunjungan Zahid yang sudah terkenal ketakwaannya di seantero penjuru kota. Afiah keluar sekejab untuk membawa minuman lalu kembali ke dalam. Dari balik tirai ia mendengarkan dengan seksama pembicaraan Zahid dengan ayahnya. Zahid mengutarakan maksud kedatangannya, yaitu melamar Afirah. Sang ayah diam sesaat. Ia mengambil nafas panjang. Sementara Afirah menanti dengan
seksama jawaban ayahnya. Keheningan mencekam sesaat lamanya. Zahid menundukkan kepala ia pasrah dengan jawaban yang akan diterimanya. Lalu terdengarlah jawapan ayah Afirah, “Anakku Zahid, kau datang terlambat. Maafkan aku, Afirah sudah dilamar Abu Yasir untuk putranya Yasir beberapa hari yang lalu, dan aku telah menerimanya.” Zahid hanya mampu menganggukan kepala. Ia sudah mengerti dengan baik apa yang didengarnya. Ia tidak bisa menyembunyikan irisan kepedihan hatinya. Ia mohon diri dengan mata berkaca-kaca. Sementara Afirah, lebih tragis keadaannya. Jantungnya nyaris pecah mendengarnya. Kedua kakinya seperti lumpuh seketika. Ia pun pingsan saat itu juga.

***
Zahid kembali ke masjid dengan kesedihan tak terkira. Keimanan dan ketakwaan Zahid ternyata tidak mampu mengusir rasa cintanya pada Afirah. Apa yang ia dengar dari ayah Afirah membuat nestapa jiwanya. Ia pun jatuh sakit. Suhu badannya sangat panas. Berkali-kali ia pengsan. Ketika keadaannya kritis seorang jamaah membawa dan merawatnya di rumahnya. Ia sering mengigau. Dari bibirnya terucap kalimat tasbih, tahlil, istigfhar dan … Afirah. Kabar tentang derita yang dialami Zahid ini tersebar ke seantero kota Kufah. Angin pun meniupkan kabar ini ke telinga Afirah. Rasa cinta Afirah yang tak kalah besarnya membuatnya
menulis sebuah surat pendek, Kepada Zahid,

=================================================
Assalamu’alaikum
Aku telah mendengar betapa dalam rasa cintamu padaku. Rasa cinta itulah yang
membuatmu sakit dan menderita saat ini. Aku tahu kau selalu menyebut diriku
dalam mimpi dan sadarmu. Tak bisa kuingkari, aku pun mengalami hal yang
sama. Kaulah cintaku yang pertama. Dan kuingin kaulah pendamping hidupku
selama-lamanya.
Zahid,
Kalau kau mau. Aku tawarkan dua hal padamu untuk mengobati rasa haus kita
berdua. Pertama, aku akan datang ke tempatmu dan kita bisa memadu cinta. Atau
kau datanglah ke kamarku, akan aku tunjukkan jalan dan waktunya.
Wassalam
Afirah
=================================================

Surat itu ia titipkan pada seorang pembantu setianya yang bisa dipercaya. Ia berpesan agar surat itu langsung sampai ke tangan Zahid. Tidak boleh ada orang ketiga yang membacanya. Dan meminta jawapan Zahid saat itu juga.
Hari itu juga surat Afirah sampai ke tangan Zahid. Dengan hati berbunga-bunga Zahid menerima surat itu dan membacanya. Setelah tahu isinya seluruh tubuhnya bergetar hebat. Ia menarik nafas panjang dan beristighfar sebanyak-banyaknya. Dengan berlinang air mata ia menulis untuk Afirah :

=================================================
Kepada Afirah,
Salamullahi’alaiki,
Benar aku sangat mencintaimu. Namun sakit dan deritaku ini tidaklah sematamata
karena rasa cintaku padamu. Sakitku ini karena aku menginginkan sebuah
cinta suci yang mendatangkan pahala dan diridhai Allah ‘Azza Wa Jalla’. Inilah
yang kudamba. Dan aku ingin mendamba yang sama. Bukan sebuah cinta yang
menyeret kepada kenistaan dosa dan murka-Nya.

Afirah,
Kedua tawaranmu itu tak ada yang kuterima. Aku ingin mengobati kehausan jiwa
ini dengan secangkir air cinta dari surga. Bukan air timah dari neraka. Afirah,
“Inni akhaafu in ‘ashaitu Rabbi adzaaba yaumin ‘adhim!” ( Sesungguhnya aku
takut akan siksa hari yang besar jika aku durhaka pada Rabb-ku. Az Zumar : 13 )
Afirah, Jika kita terus bertakwa. Allah akan memberikan jalan keluar. Tak ada yang bisa aku lakukan saat ini kecuali menangis pada-Nya. Tidak mudah meraih cinta
berbuah pahala. Namun aku sangat yakin dengan firmannya :

“Wanita-wanita yang tidak baik adalah untuk laki-laki yang tidak baik, dan lakilaki
yang tidak baik adalah buat wanita-wanita yang tidak baik (pula), dan wanitawanita
yang baik adalah untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik adalah
untuk wanita-wanita yang baik (pula). Mereka (yang dituduh) itu bersih dari apa
yang dituduhkan oleh mereka. Bagi mereka ampunan dan rizki yang mulia (yaitu
surga).”

Karena aku ingin mendapatkan seorang bidadari yang suci dan baik maka aku
akan berusaha kesucian dan kebaikan. Selanjutnya Allahlah yang menentukan.
Afirah,Bersama surat ini aku sertakan sorbanku, semoga bisa jadi pelipur lara dan
rindumu. Hanya kepada Allah kita serahkan hidup dan mati kita.
Wassalam,
Mohd Zahid Shafiee

================================================

Begitu membaca jawaban Zahid itu Afirah menangis. Ia menangis bukan karena kecewa tapi menangis karena menemukan sesuatu yang sangat berharga, yaitu hidayah. Pertemuan dan percintaannya dengan seorang pemuda saleh bernama Zahid itu telah mengubah jalan hidupnya. Sejak itu ia menanggalkan semua gaya hidupnya yang glamor. Ia berpaling dari dunia dan menghadapkan wajahnya sepenuhnya untuk akhirat. Sorban putih pemberian Zahid ia jadikan sajadah, tempat dimana ia bersujud, dan menangis di tengah malam memohon ampunan dan
rahmat Allah SWT. Siang ia puasa malam ia habiskan dengan bermunajat pada Tuhannya. Di atas sajadah putih ia menemukan cinta yang lebih agung dan lebih indah, yaitu cinta kepada Allah SWT. Hal yang sama juga dilakukan Zahid di masjid Kufah. Keduanya benar-benar larut dalam samudera cinta kepada Allah SWT.
Allah Maha Rahman dan Rahim. Beberapa bulan kemudian Zahid menerima sepucuk surat dari Afirah :

================================================

Kepada Zahid,
Assalamu’alaikum,
Segala puji bagi Allah, Dialah Tuhan yang memberi jalan keluar hamba-Nya yang
bertakwa. Hari ini ayahku memutuskan tali pertunanganku dengan Yasir. Beliau
telah terbuka hatinya. Cepatlah kau datang melamarku. Dan kita laksanakan
pernikahan mengikuti sunnah Rasululullah SAW. Secepatnya.
Wassalam,
Afirah
=================================================

Seketika itu Zahid sujud syukur di mihrab masjid Kufah. Bunga-bunga cinta bermekaran dalam hatinya. Tiada henti bibirnya mengucapkan Alhamdulillah.

Sunday 29 January 2012

Tinta Buat Sahabat~~~

Assalamualaikum wa rahamtullah...




Sahabatku....


Buat teman-teman yang disayangi dan dirahmati allah walau dimana
sahabat sekalian berada.Allah telah pertemukan kita dalam ikatan
keranaNya dan sesungguhnya perancangan ini adalah yang
terbaik buat kita.


Melalui perkenalan ini Allah titipkan rasa sayang,kasih dan cinta dalam hati
kita. Walau beribu batu terpisah,jarak beribu batu namun rasa itu x pernah
Allah asingkan dari dalam hati kita untuk saling mencintai.


Dari seorang yang tidak mengenal makna kehidupan duniawi sedikit demi
sedikit kita bersama menempuh hidup ini dan akhirnya mematangkan
kita untuk membuat keputusan dalam hidup.


Pernah suatu ketika kita tidak mampu dan langsung tidak diberi kepercayaan
oleh guru-guru untuk membuat sesuatu keputusan. Namun kini,seiring dengan
perubahan masa kita diberi kepercayaan untuk memikul tanggungjawab yang
sangat besar yang mungkin satu ketika dahulu tidak pernah terlintas di fikiran.








Sahabatku...


Walau dimana dan bila kita dipertemukan bukanlah persoalan, apa yang perlu
kita hayati adalah bagaimana dan kenapa Allah mendatangkan insan yang
dipanggil teman dalam hidup ini.


RencanaNya telah mempertemukan kita di gedung menuntut ilmu, INTEP...
satu nama yang akan sentiasa kita rindui. Tempat di mana kita membesar
bersama dan mula mengenal erti hidup


Buat sahabat-sahabat perjuangan,seinfiniti pujian kita lafazkan kepada ALLAH
MAHA AGUNG yang telah mempertemukan kita. Masih ingat lagi
saat-saat kita bersama menuntut ilmu. Kelas dan prep menjadi rutin hidup dan
apabila petang tiba maka berlari-lari menuju ke padang bagi memenuhi tuntutan
badan yang ingin beriadah. Bagi sahabat-sahabat yang kurang berminat ke padang
akhirnya tetap di paksa ke padang dengan arahan untuk mengosongkan asrama..
Mesti semua ingat lagi kan?-)


Alhamdulillah...solat kita terjaga,walaupun dipaksa oleh warden tapi jarang sekali
kita tidak dapat menunaikan solat 5 waktu secara berjemaah. Sebelum prep
diwajibkan bermula selepas maghrib,waktu antara maghrib dan isyak akan kita
isi dengan sedikit tazkirah atau tadarus..sangat mudah untuk menjaga hati dan
saling mengingati antara satu sama lain saat itu. Indah kan?








Sahabatku...


Kini hampir 5 tahun kita meninggalkan alam persekolahan,walaupun kehidupan
sekarang lebih bebas tanpa peraturan sekolah tapi hati sentiasa merindui saat-saat
kita bersama.


Walau dimana berada alam persekolahan akan sentiasa tersemat di hati sebagai
yang terbaik dan mengharukan untuk dikenang. 5 tahun dan ada yg 2 tahun 
bersama siang malam,susah senang. Tempat bermain,makan,tido dan belajar 
tiada bezanya antara kita. Bagaimana perasaan cinta kepada sahabat-sahabat 
mampu dinafikan selepas apa yang kita lalui bersama?? Sungguh..rasa rindu
untuk  bersama seperti dahulu sentiasa menjadi impian.


Dalam tempoh hampir 5 tahun kita terpisah ini pelbagai perkara telah berlaku,
ramai di antara kita yang berjaya dalam pelajaran dan ada yang sudah mempunyai
kerjaya sendiri,mampu hidup berdikari.


Namun satu kejadian yang sangat menyayat hati telah berlaku dan kejadian ini 
benar-benar memberi tamparan besar kepada kita supaya lebih menghargai 
sahabat sekeliling. AL-FATIHAH kepada arwah AKMAL,arwah seorang yang 
tidak asing lagi kepada kita sebagai seorang atlit yang sentiasa mengharumkan 
nama sekolah di peringkat tertinggi.




Pemergiaan arwah tanpa diduga dan tiada sebarang petanda benarlah 
"DARI ALLAH KITA DATANG DAN KEPADANYA KITA KEMBALI" Saat 
arwah dikebumikan ramai yang hadir untuk solatkan jenazah dan mendoakan 
arwah. Sama-sama kita doakan semoga arwah ditempatkan di kalangan orang 
beriman dan pertemuan seterusnya kita bersamanya di syurga yang hakiki...
amin~~~






Sahabatku...


Dengan rahmat ALLAH kita pandai berbicara ( ar rahman: 4) dan dengan rahmat 
ALLAH kita mampu berlemah lembut (ali-imran: 159), dengan rahmat ALLAH 
kita mampu bersabar dan memaafkan (as-syuara ). Mudah-mudahan begitulah kita. 
Tarbiyah melalui halaqah dan majlis ilmu sepanjang pengajian membuka minda kita
 untuk menerima dan mengasihi saudara-saudara lain tanpa syarat. Hingga ALLAH 
mengizinkan diri kita menerima & diterima insan-insan yang ditemui dalam lingkungan 
dan medan kita berada.


Tiada lafaz selain kesyukuran yang mampu diungkapkan melainkan ALHAMDULILLAH
atas pertemuan dan perkenalan ini. Satu permulaan hidup melalui perkenalan yang penuh
bermakna ini akan sentiasa utuh dalam ingatan dan hati sebagai memori terindah.

Kini kita telah semakin dewasa dan menginjak umur 20-an, tanggungjawab dan peranan
kepada keluarga,masyarakat dan paling penting agama semakin meningkat. Keringat dan
ilmu yang kita perolehi kini diperlukan untuk memajukan umat islam sedunia.

Namun dalam melayari arus hidup yang semakin mencabar ini amat mudah untuk hanyut
dan terus terbawa budaya barat yang akan membawa kita kepada neraka jahanam yang
menjanjikan siksaan dan azab yang amat pedih.

Sahabatku...

Bagi seorang lelaki perempuan merupakan fitnah terbesar dan bagi seorang perempuan
pula lelaki adalah satu bentuk godaan yang nyata. Ramai di kalangan anak muda
yang hanyut dalam nikmat dunia melalui godaan berlainan jantina ini.

Fitnah ini sangat dasyat ketika ini dan mampu menewaskan anak muda dalam sekelip
mata, bayi hasil "percintaan" mereka semakin banyak dibuang merata-rata dan terbaru
bayi tanpa kaki kanan dan tanpa kepala ditemui oleh oleh seorang nelayan..sedih kan?




Takut dengan fitnah dunia, keputusan untuk bernikah dan hidup berkeluarga
menjadi pilihan. Tidak dinafikan,ramai yang mempertikaikan keputusan ini tapi
demi mencapai redha allah dan hidup dalam ketenangan ini adalah yang terbaik.

Maaf buat sahabat-sahabat yang mungkin terkejut dengan berita ini. 
Alhamdulillah...berita perkahwinan ni sudah tersebar dan mohon doa dari
sahabat-sahabat semua. Namun yakinlah hubungan yang telah lame terbina ini
akan tetap tersemat utuh dalam hati dan ingatan walau apa yang dilalui.

Bagi sahabat-sahabat yang mampu menghadirkan diri sangat dialukan dan 
bagi sahabat-sahabat yang x dapat hadir atas faktor masa dan tempat x kan
ad rasa kecil hati cuma mohon doa semoga kami kekal bahagia sampai 
ke syurga yang hakiki..-)

Kita sangat jarang bertemu  kerana tanggungjawab dan kekangan masing-masing,
namun sahabat-sahabat mengajar erti ukhuwwah yang didasari iman insyaALLAH… 
kerana tiada apa lagi yang mampu mengikat hati setelah perpisahan melainkan 
pertemuan dijalan kebaikan, di jalan tarbiyyah dan dakwah, melainkan pilihan kita 
untuk menggilap iman itulah yang sering menyatukan hati-hati  ini…

Moga kita istiqamah beriman, dan muhasabah diri untuk tunaikan segala 
amanah dengan  ikhlas dan dengan cara yang terbaik hanya 
kerana ALLAH… Supaya kita tidak jadi seperti orang-orang kafir yang 
menyatakan keimanan kepada ALLAH sewaktu azab telah ada di depan mata 
di akhirat kelak, sedangkan waktu itu tiada peluang lagi beramal soleh dan 
memohon keampunan…tiada peluang kembali hidup dunia…

Nau’zubillah moga ini memotivasikan diri sendiri untuk meninggalkan 
larangan dan menunaikan segala suruhanNYA…

Hidup hanya sekali, moga diri ini dan sahabat-sahabat mengisi hidup dengan 
zikrullah,amal soleh, menangisi dosa, memohon redha dan ampun buat diri… 
Salam sayang tulus ikhlas buat sahabat-sahabat sekalian..